Jumat, 06 Juni 2014

Hhhhh....

Saya punya banyak kisah, tapi entah kenapa sulit menuangkannya dalam goresan kata. Bahkan diucapkan pun susah. Apa mungkin karena saya sudah terlalu lelah dengan ini semua?

Hari dimana saya kembali bersujud setelah sekian lama saya absen bertemu Tuhan, menjadi hari paling emosional untuk saya. Sudah lama saya tidak menyapa Tuhan, apakah Tuhan marah dengan saya? karena hidup saya terlalu datar dan hampa untuk dijalani atau mungkin saya lupa dan baru ingat menyebut namaNya saat tamu bernama "masalah" datang menemui saya.

Tersadar, meskipun saya lupa tapi Tuhan rupanya masih mengingat saya. Subhanallah, inilah kali pertama saya merasa Ia dekat dengan saya. Dekat sekali. Seperti sahabat yang siap mendengarkan keluh kesah dan siap menyeka tetesan airmata, merengkuh kedalam hangatnya pelukan, bahkan menatap dalam-dalam mata ini sambil mengatakan saya akan kuat menjalani apa yang harus dijalani. Saya belum harus berhenti di sini. Ada cahaya yang akan menunggu saya di suatu tempat. Berjalanlah ke arahnya, meski lelah, meski haus, meski lapar, meski kedua kaki terasa berat, kekuatan itu terus ada menemani saya hingga tiba di titik perhentian. Hati saya berkata seperti itu.

Saya harus berterimakasih kepada "tamu" yang saat itu datang menemui saya. Jika bukan karena dia, mungkin tidak ada yang namanya obrolan tengah malam bersama Tuhan. Saya sudah tenang. Ini yang terbaik untuk saya. Hidup bukan soal meratapi nasib. Berusaha saja menjadi pribadi yang baik.

Jangan dulu matikan saya, sebelum saya bisa mengembalikan harapan, kebahagiaan, dan kebanggaan yang pernah terbersit indah dari wajah orang yang sangat peduli terhadap saya. Bapak.

Semoga hari ini saya bisa melihat bapak tersenyum kembali.

Senin, 03 Desember 2012

Kisah Si Penerima Tamu part 1


Pernah datang ke acara pernikahan? pastinya pernah dong. Ya kan, pernah kan???

Selalu ada yang menarik ketika kita bertandang ke sebuah pesta pernikahan. Pertama (dan yang terpenting), pengantin. Seorang wanita dan seorang pria disatukan dalam ikatan janji di hadapan wali, penghulu dan para saksi, untuk bisa hidup bersama sampai mati (kalau bagian ini belum pasti juga sampai mati, sih). Well, mereka yang berbahagia akhirnya bisa bersanding di pelaminan, menunggu orang-orang berdatangan untuk bersalaman menyampaikan kebahagiaan.

Tata rias dan busana yang dikenakan pengantin, khususnya pengantin wanita, menjadi hal menarik yang bisa dilihat. Setidaknya untuk gue pribadi. Apalagi kalau si pengantin pakai busana tradisional, selain cantik juga kelihatan dia orang Indonesia (kalau dia pakai busana koboi ada kemungkinan dia orang barat yang lama hidup di Indonesia). Oiya, berhubung gue orang Indonesia dan senang budaya Nusantara membuat gue secara otomatis menyukai parade pengantin, dimana pengantin berjalan perlahan di atas karpet merah dengan para penari tradisional yang membawakan tarian khas daerah asal keluarga pengantin, menari di depan pengantin. Lalu, tepat di belakang Raja dan Ratu sehari ini, berjalan pula keluarga terdekat mulai dari orangtua, saudara kandung, dan saudara-saudara lainnya (yang bukan dianggap saudara tolong pengertiannya jangan ikut berada di barisan parade, ya).

Tata panggung yang 'wah' menurut gue menjadi hal menarik kedua. Beragam bunga segar menghias panggung, warna-warni dan harum. Kalau diperhatiin nih, tidak sedikit tamu yang mengambil bunga-bunga tersebut sebagai souvenir tambahan untuk dibawa pulang. Siapa yang mengambilnya? ya siapa lagi kalau bukan tim ibu-ibu rumpi yang mencomot satu persatu bunga. Nenek gue pun berniat mengambil bunga melati, tapi bukan dari panggung melainkan dari balik konde pengantin. Pas gue tanya, "Ngapain ngambil bunga melati?", beliau dengan tenang menjawab, "Buat kamu, biar cepet nikah". Dan seketika itu juga, hati gue terenyuh, campur aduk rasanya. Gue cuma bisa tertawa getir menanggapi perkataan nenek.

Oke, jangan sedih dulu. Masih ada bagian ketiga yang membuat acara pengantin menarik. Makanan. Kambing guling, siomay, sate, pempek, bakso, puding, es krim, hingga menu berat (maksudnya nasi dan kawan-kawannya) lengkap tersaji memuaskan lidah para tamu. Makanan menarik menurut gue adalah jajanan pasar dan sate. Kenapa? karena gue suka aja sama kedua makanan itu. Di sisi lain, makanan menjadi hal paling mengkhawatirkan bagi si keluarga pengantin.

Di pernikahan saudara gue pernah ada kejadian makanan untuk tamu kurang. Tamu-tamu yang datang melebihi kapasitas pesanan katering. Jadilah seluruh keluarga cemas, termasuk bokap gue. Akhirnya jatah makanan untuk keluarga yang sebelumnya udah disiapin sama orang katering dioper dengan sukarela ke tamu yang terus berdatangan. Setelah pesta usai, gue dan saudara-saudara yang lain sudah terkena penyakit lapar. Tahu apa yang terjadi? kita kena makan hokben. Untung gue suka fastfood made in Jepang ini, kalau ngga bisa-bisa gue kembung stadium empat gara-gara minum doang.

Lupakan kejadian kekurangan makanan, hal menarik keempat adalah tamu. Apalah artinya pesta tanpa kehadiran tamu. Yap, semakin banyak tamu yang datang, semakin banyak rejeki mengisi pundi-pundi. Tamu-tamu terhormat datang dengan gaya berbeda, dari yang biasa saja sampai yang luar biasa. Anyway, gue doyan memperhatikan setiap undangan hilir mudik, entah itu mau ngambil makanan atau bersenda gurau bersama teman-temannya. Pancaran kegembiraan tampak jelas terbaca dari raut wajah mereka, nyaris tidak ada kesedihan.

Satu kejadian yang terekam di otak gw soal tamu. Ada sepasang suami istri menghadiri pesta pernikahan (lagi-lagi) saudara gue. Awalnya sih, mereka santai masuk ke acara itu, sampai akhirnya ketika mereka pulang dan tiba-tiba terjadi percakapan antara gue dan sepasang suami istri itu.
"Maaf de, ini pernikahan siapa ya? sepertinya kita salah tempat," kata si suami.
Gue langsung panik sendiri (perasaan bukan gue yang salah tempat tapi gue yang panik). Berusaha tenang gue menjawab, "Ini pernikahan Evi dan Teddi, pak. Memang bapak mau ke acaranya siapa?", gue balik bertanya.
"Saya mau ke acara nikahan yang di mesjid BKKBN," jawabnya.
"Wah, ini bukan mesjid pak. Mesjidnya ada di belakang gedung ini. Sebelum masuk bapak ngga lihat fotonya dulu ya?," sahut gue, jadi merasa tidak enak hati.
"Ya ampun, saya bener-bener salah kalau begitu. Saya ngga merhatiin ada foto di depan pintu. Duh bagaimana ya ini? emm bisa ngga ya saya ambil lagi amplopnya?" bapak itu bertanya dengan mimik ragu-ragu dan penuh penyesalan.
FYI, istrinya udah masukin empat amplop titipan kedalam kotak yang ada di sebelah gue.
"Yah, kotaknya terkunci nih pak, saya ngga tahu siapa yang megang kuncinya. Maaf banget ya pak," tiba-tiba gue merasa makin bersalah sama bapak itu karena tidak bisa membantunya.
"Ya sudah kalau begitu de, apa boleh buat sudah terlanjur dimasukkin amplopnya. Terimakasih ya," ucapnya lalu melangkah pergi bersama si istri.

Tip buat yang datang ke kondangan di gedung. Jangan pernah mengabaikan foto prewedd pengantin yang terpajang di depan pintu masuk. Sebaiknya lihat dulu dan yakinkan kalau orang yang didalam foto itu betul-betul Anda kenal. Gue harap kejadian ini tidak menimpa kalian.

Kelima, souvenir. Ini dia koleksi gue, cenderamata pernikahan. Satu atau dua souvenir selalu gue bawa pulang, tidak gue buang atau dibuka, asli hanya untuk koleksi. Sayangnya, kardus-kardus koleksi gue udah dibuang nyokap. Jadi sisanya hanya yang ada di lemari pajangan.

Dan terakhir, adalah penerima tamu. Heran ya, kenapa gue memilih penerima tamu menjadi bagian menarik dalam pesta pernikahan. Mau tahu apa alasannya????

*tunggu kelanjutannya yaaaa... cape juga ngetik sebanyak ini*


Selasa, 16 Oktober 2012

Hanya Ingin Menulis

Sudah hampir setahun saya tidak lagi meluangkan waktu untuk hobi saya, menulis. Dan, seperti diingatkan kembali, saya mimpi bertemu Salman Aristo. Dalam mimpi, saya mengamati Salman sedang memberi arahan ke murid-murid penulisnya di dalam kopaja yang saya tumpangi. Wkwkwkwk kok ya bisa ada Salman di kopaja. Masih di dalam mimpi, saya melihat dia dan dua muridnya turun di TIM. Karena saya suka dengan karya-karya Salman, maka saya memutuskan untuk turun dan mengikuti mereka masuk ke dalam TIM. Di sana, saya pun ikut nimbrung bersama mereka. Viola! Jadilah saya menulis kembali.

Entah ini suatu pertanda atau apalah itu namanya, saya terbangun dari mimpi dan mimpi itu masih jelas saya ingat hingga saya menuliskannya di blog yang jarang saya jamah ini. Kekuatan untuk menulis itu semakin kuat dan dekat kepada saya. Saya hanya ingin menulis, itu saja.

Pertama kali saya menyukai dunia penulisan, waktu itu saya masih sepuluh tahun. Saya paling senang baca koran Poskota usai pulang sekolah. Semua berita habis saya baca, meskipun kadang saya tidak mengerti tentang isi berita itu. Sampai akhirnya saya juga melahap lampiran Lembergarnya Poskota yang berisi kartun dan karikatur. Ini yang saya suka. Mungkin karena lembarannya berwarna dan ada gambar-gambar lucu. Kartun Doyok adalah favorit saya.

Suatu ketika saya pernah bertanya ke bapak, siapa yang menulis di koran Poskota? bapak menjawab, wartawan yang menulis. Tulisan yang ada di koran itu berita-berita yang ada di sekitar kita. Aku pun hanya membalas dengan anggukan. Pastinya tidak mengerti. Wartawan itu nama orang atau apa ya? pikiranku bekerja keras menemukan arti kata wartawan. Inilah kali pertama saya jatuh cinta dengan dunia tulis menulis.

Tahun 1996, saya tidak lagi menempati rumah lama di Menteng Dalam. Kejadian pindah rumah ini membuat saya super galau tak terkira. Saya harus kehilangan teman-teman yang sudah 12 tahun bersama. Di rumah baru saya sering menangis dan selalu berkata tidak betah ke seisi rumah. Saya mau kembali ke Menteng Dalam, hanya itu yang sering saya ucapkan ke mereka. Berbulan-bulan saya menangis dan memarahi keadaan.

Ketika masuk SMP, total saya tidak mempunyai teman. Semua tampak baru di hadapan saya. Rumah baru, sekolah baru, teman baru, saya tidak menyukainya. Saya hanya mau bersama teman-teman lama. Alhasil, saya enggan berkomunikasi dengan orang-orang asing itu. Selama beberapa minggu ke sekolah saya diantar jemput asisten rumahtangga. Hal ini pun sempat menjadi bahan ledekan dan tertawaan anak-anak lainnya. Saya tidak pernah peduli karena sudah terlanjur membenci kota baru dan orang-orang yang ada didalamnya.

Diam. Hanya itu yang mau saya lakukan. Bila mereka sibuk berkenalan sana-sini, saya cenderung memilih diam sampai ada seorang anak perempuan yang datang menghampiri dan bertanya, "Apa kursi ini kosong?". Anak perempuan berdarah batak itu pun menjadi teman pertama saya di sekolah ini. Memang tidak banyak yang kami bicarakan, hanya seputar lingkungan sekolah dan saling bertanya tempat tinggal. Ternyata rumahnya satu wilayah dengan saya. Dari situ kami mulai berteman. Namun sayang, satu tahun belum berakhir dia sudah pindah mengikuti keluarganya.

Lucu, saya hampir menangis waktu tahu teman pertama saya itu pergi, padahal belum lama kami berteman. Setelah kepergiannya, saya kedatangan teman baru yang duduk di sebelah saya. Anak perempuan bertubuh kurus itu menjadi teman saya selanjutnya, bahkan hingga detik ini kami masih berteman baik.

Berhubung masa remaja saya habiskan nyaris dengan kebisuan, saya tidak menyesal karena tanpa saya sadari saya menemukan ketenangan yang belum tentu orang lain miliki. Buku harian menjadi obat mujarab saat saya tidak memiliki teman untuk berbagi rasa. Buku harian pertama saya beli di toserba Ramayana Kramat Jati bersama teman. Itupun kalau tidak diajak saya tidak pernah tahu bahwa di dekat rumah saya terdapat mal. Bayangkan betapa tidak gaulnya saya.

Buku harian sudah seperti sahabat saya. Setiap mulai menulis saya selalu menyapa, "Hai diary, apa kabar?" hahaha seperti mengobrol dengan manusia saja. Lembar demi lembar aku mulai ketagihan menulis buku harian. Setiap kejadian yang saya alami hari itu saya torehkan di diary. Mulai dari yang penting hingga tidak penting.

Kisah itu bermula dari sini....




Kamis, 24 Februari 2011

Banda Aceh

Yihaaa, kembali lagi...

Ada cerita nih, waktu saya ditugaskan ke Banda Aceh. Kulineran menikmati Kopi Solong. Hmmm.. ada yang pernah ke sana?

Ngopi di Aceh

Singgah di Banda Aceh tak lengkap rasanya bila tidak mampir ke warung kopi Solong. Sedapnya kopi menggugah selera untuk kembali.

Ya, ini kali pertama saya menginjakan kaki di Bumi Serambi Mekkah. Buat saya, Aceh seperti magnet religi bagi wisatawan yang berkunjung. Belum lagi, keindahan alamnya luar biasa cantik dan menggoda mata, seolah sanggup membayar keletihan setelah melampaui perjalanan Jakarta-Banda Aceh.

Lepas satu hari setelah tiba di Banda Aceh, saya bersama rombongan wartawan dari Jakarta diajak mencicipi kopi Solong khas Aceh di kawasan Ulee Kareng. Sambil menemani kami menuju warung kopi tersohor itu, pemandu wisata kami berpromosi, “Setiap tamu yang datang harus mampir ke warung kopi Solong. Kalau tidak, bisa dibilang mereka belum ke Aceh karena belum mencicipi kopi khas kami,” kata Ucok, sumringah.

Wah, saya jadi penasaran, ingin membuktikan kata-kata sang pemandu. Seberapa mantap rasa kopi yang ia promosikan? Seperti apa bentuk warung kopi yang ada di daerah ini? Mungkinkah sama dengan warung kopi di Jakarta, kebanyakan memakai tenda? ikuti perjalanan saya berikut ini.

Separuh hari kami lalui dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Setelah melihat pawai budaya untuk menyambut Visit Banda Aceh 2011, lalu menyambangi toko cenderamata khas daerah setempat dan menjelajah rumah Cut Nyak Dien, tiba saatnya melepas lelah sambil menikmati secangkir kopi ditemani semburat jingga turun perlahan di ufuk barat.

Sampai di warung kopi Solong Ulee Kareng, tampak luar, bangunannya ternyata tidak sama dengan warung kopi tenda seperti di Jakarta. Terlihat jelas, sebuah bangunan ruko, mempunyai ukuran cukup luas untuk sekelas warung kopi biasa. Sambutan hangat dari si pemilik warung membuat kami nyaman. Sore itu, banyak pelanggan yang datang dan nyaris tidak ada kursi kosong untuk kami. Namun, beruntung, ada beberapa tamu telah selesai berbincang serta menyeruput kopi, kemudian meninggalkan warung.

Sebelum mencoba rasa kopi hasil seduhan sang ahli, kami dipersilakan berkeliling ke dapur pembuatan kopi oleh Asballah, tidak lain adalah penerus generasi kedua dari silsilah keberadaan warung kopi Solong. Kami pun bergegas ke belakang warung. Di ruangan kecil ini, tersimpan karung-karung berisi biji kopi dan alat penghancur biji kopi tersebut. Selain itu, terdapat timbangan untuk menimbang kopi yang sudah dihancurkan, sesuai dengan takarannya. Lalu, tentu saja tumpukan plastik dalam kardus air mineral, berisi apalagi kalau bukan kopi bubuk Solong.

Saya sempat mengamati proses pembuatan kopi di tempat ini. Seorang karyawan memasukan biji kopi kedalam mesin giling untuk dihancurkan hingga halus. Setelah proses penghalusan selesai, bubuk kopi ditimbang menurut ukuran beratnya. Kemudian, baru dikemas dalam plastic dan disimpan.

Sementara, untuk penyajian jika tamu ingin minum kopi di tempat, prosesnya seperti ini. Kopi dituang dalam kain, fungsinya sebagai penyaring. Kemudian, kopi bersama kain tersebut dimasukan ke wadah berisi air mendidih, dicelupkan sebentar, setelah itu kain diangkat hingga atas kepala. Kucuran air kopi dari kain tersebut lalu dituangkan kedalam cangkir-cangkir kecil. Dan, jadilah kopi Solong. Harum aroma kopi ditambah rasanya yang menggoda lidah, membuat saya mengangkat dua jempol, mantap.

Usai memperhatikan proses pembuatan, ada satu hal menarik perhatian saya, yakni cara penyeduhannya menggunakan kain dan diangkat tinggi melebihi kepala. Cara tradisional itu diyakini bisa membuat rasa serta aroma kopi menjadi sangat kuat. Tidak hanya itu, para pembuat kopi pun mempercayai bahwa setiap tahap meracik kopi, menciptakan nilai-nilai luhur budaya mengenai kedisiplinan serta rasa kebersamaan.

Menjamurnya kedai-kedai kopi di setiap sudut kota Aceh memang sudah tidak asing lagi. Bahkan, sudah menjadi budaya, menyatu dengan masyarakat. Alhasil, berdirinya warung kopi merupakan bentuk hiburan, dimana warga bisa kumpul, mengobrol bersama teman sejawat sambil menikmati makanan ringan atau melakukan kegiatan bisnis. Maklum saja, kota ini tidak ramai dengan mall maupun pusat perbelanjaan mewah seperti Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia. Jadi, kehadiran warung kopi adalah pilihan tepat bagi penduduk setempat.

Terlebih lagi, setelah peristiwa tsunami melanda Aceh, banyak relawan lokal dan luar negeri mendatangi warung kopi untuk beristirahat maupun saling memberi informasi. Inilah salah satu penyebab semakin banyak orang-orang mendirikan tempat favorit ini. Masyarakat pun seolah-olah teracuni oleh trend nongkrong di kedai kopi.

Dahulu, warung kopi dijadikan sarana informasi dari kampung yang satu dengan kampung lainnya, malah sampai ke luar kota. Namun, seiring pesatnya arus informasi dan berkembangnya teknologi internet, kini banyak juga kedai memberikan fasilitas internet gratis. Meskipun, masih ada yang mempertahankan ketradisionalan warung tanpa internet, seperti warung yang saat itu saya singgahi, toh kehadirannya justru digemari, baik dari orangtua, kaum muda, ragam etnis, laki-laki, maupun perempuan.

Sejatinya, kopi bukan lagi merupakan jenis minuman biasa bagi penduduk Aceh. Berawal dari biji kopi, sebuah filosofi mengenai kehidupan terjadi. Budaya ngopi pun selalu melekat dihati.

Selasa, 16 November 2010

kalimantan cuy


ini adalah hasil liputan gw waktu muter-muter kaltim, ke balikpapan, samarinda, sanga-sanga, tenggarong. melewati hutan, lihat sisa-sisa penambangan batubara, mana bersih banget jalanannya (balikpapan n tenggarong). satu kata buat kalimantan, ASIK!!!

just cekidot...

Jejak-Jejak Sejarah di Kalimantan Timur

Teks & foto: Ratih Kusumawanti

Tidak banyak warga Manggar, Balikpapan Timur, Kalimantan Timur, mengetahui keberadaan bunker-bunker yang berdiri di depan halaman rumah mereka. Padahal, keberadaan benda peninggalan tentara Jepang itu telah menjadi bagian dari sejarah bangsa.

Tidak hanya bunker Jepang, banyak lagi benda-benda sejarah tersebar di Kalimantan Timur. Sebut saja, Tugu Australia, meriam Jepang, sumur minyak Mathilda, Masjid Sirathal Mustaqiem, Masjid Hasanudin, situs makam raja-raja, Palagan Sanga-Sanga, rumah penjara peninggalan Belanda, gedung Putri Junjung Buyah, serta Museum Perjuangan Merah Putih, Museum Mulawarman dan Museum Tanjung Pura Kodam VI.

Agar obyek-obyek bersejarah tersebut tidak hilang termakan jaman, maka Direktorat Nilai Sejarah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melakukan kegiatan Publikasi Kesejarahan di Propinsi Kalimantan Timur, pada 10-13 November 2010. Dalam kegiatan ini, juga melibatkan para wartawan dari berbagai media massa. Kehadiran insan jurnalis pun turut membantu kegiatan tersebut.

Seperti diungkapkan Direktur Nilai Sejarah Kemenbudpar, Shabri Aliaman, membicarakan sejarah tanpa adanya penyiaran, tidak ada artinya karena apa yang diekspose akan memunculkan benang merah antara dulu dan sekarang. “Harapan kami, dengan adanya publikasi ini bisa merangsang dunia pendidikan dan membuat banyak orang berkunjung ke Kalimantan Timur,” tambahnya.

Hari pertama, para peserta diajak melihat Tugu Australia, sumur minyak Mathilda, bunker dan meriam Jepang, serta mengunjungi Museum Tanjung Pura Kodam VI. Tugu Australia adalah monumen yang dibangun tahun 1992. Bangunan itu merupakan tugu peringatan kemenangan pasukan Australia melawan tentara Jepang. Setiap tanggal 10 Mei, tentara Australia memperingatinya dengan melakukan upacara di tugu yang terletak di jalan Yos Sudarso, Balikpapan.

Sementara, sumur minyak Mathilda, cikal bakal sumur bor Pertamina ini, merupakan satu dari sembilan sumur yang masih produktif. Ditemukan pada 10 Februari 1897, sumur ini memiliki kedalaman 222 meter. Tanggal penemuan sumur minyak itu sekaligus dijadikan hari jadi Kota Balikpapan. Lalu, bunker Jepang. Terletak di sebelah timur Kota Balikpapan, daerah ini memiliki sekitar 20 bunker pada masa penjajahan Jepang.

Perjalanan terus berlanjut. Di hari kedua, menuju Masjid Sirathal Mustaqiem dan Makam Daeng Mangkona. Masjid tertua di Kalimantan Timur ini, terlihat mempesona dan meneduhkan mata. Terdapat keunikan dari masjid yang dibangun tahun 1881 dan baru selesai di tahun 1891, yakni seluruh bangunannya terbuat dari kayu ulin. Sampai sekarang masjid ini tidak diubah, masih sama dengan bentuk asli saat didirikan. Setelah puas menyusuri obyek sejarah di kawasan Samarinda Seberang ini, peserta diajak ke makam Daeng Mangkona. Makam tersebut merupakan salah satu obyek wisata ziarah. Jika hari-hari besar Islam dan hari jadi Kota Samarinda, komplek pemakaman di jalan Mas Penghulu, Samarinda Seberang, selalu ramai dikunjungi peziarah.

Menginjak hari ketiga, rombongan menelusuri wilayah Kutai Lama. Di sini ada tiga makam, dua dari tiga maka itu tercatat nama Sultan Aji Dilangga dan Sultan Aji Raja Mahkota. Lalu, 150 meter sebelah barat laut kedua makam tersebut, tersimpan makam Tunggang Parangan. Selepas singgah ke situs pemakaman sultan, para peserta bergegas menuju Palagan Sanga-Sanga. Palagan Sanga-Sanga adalah nama sebuah monumen. Dibangun tahun 2002, monumen ini dibuat untuk mengenang peristiwa heroic perjuangan rakyat Sanga-Sanga pada 27 Januari 1947.

Tepat di depan Palagan Sanga-Sanga, Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, berdiri Museum Perjuangan Merah Putih. Tempat ini menyimpan berbagai macam bukti sejarah perjuangan masyarakat Sanga-Sanga, seperti foto-foto, diorama, kerangka kapal, mobil jeep, dan masih banyak lagi. Tidak diduga, seorang mantan pejuang ikut menemani para peserta. Paiman Sidin, seorang pejuang veteran ini pun tidak sungkan membagi kisah perjuangannya selama menjalani pertempuran dengan penjajah di Sanga-Sanga.

Beralih ke rumah penjara Belanda. Bentuk bangunan itu rumah panggung, didirikan pada masa awal periode NIIHM (Nederlandsch indische Industrie en Handel Maatschappij), periode 1897-1905. Masih di sekitar Sanga-Sanga, berdiri Monumen Perjuangan Peristiwa Merah Putih.

Di hari terakhir, perjalanan menapaki sejarah Kalimantan Timur harus berakhir di Tenggarong. Rombongan menyempatkan diri singgah di makam Sultan Alimuddin atau masyarakat sekitar biasa menyebutnya makam Kelambu Kuning. Hanya sebentar di tempat tersebut, gedung Putri Junjung Buyah menjadi tujuan berikutnya. Saat pemerintahan Belanda atau sekitar tahun 1930-an, gedung itu berfungsi sebagai bioskop. Namun, sekarang bangunan ini beralih fungsi dan sering digunakan untuk acara resepsi pernikahan. Bersebelahan dengan gedung Putri Junjung Buyah, berdiri kedaton dan Masjid Hasanudin.

Kemudian, tibalah di Museum Mulawarman. Berbagai koleksi kerajaan, hingga kumpulan arca dan prasasti tersimpan rapih di museum ini. Di belakang museum, terdapat komplek makam Raja Kutai Kartanegara. Jadi, inilah Kalimantan Timur. Dibalik keindahan alam hijau yang menghampar sejauh mata memandang, tersimpan cerita panjang perjalanan suatu bangsa. Selamanya, sejarah itu akan terus berkisah.

Minggu, 26 September 2010

Gue Suka Bogor!!!

Rehat sejenak dari cerita Suatu Ketika Di Jembatan Gantung ya..

Sabtu, (25/9), gue, Yuli en Bule, refreshing ke Bogor. Yeah, lumayan sekedar istirahatin hati dan otak yang uda mumet sama keadaan sehari-hari yang super suck. Tadinya, gue ngga sangka kala hasil jalan-jalan ini bakal membuat suasana hati senang bukan main. Hehehee...berarti mood gue udah sangat-sangat bagus.

Berangkat dari Stasiun Kalibata udah lumayan siang. Itu juga karena nungguin si Bule yang kejebak macet di flyover kalibata. Sambil nungguin orang paling ganteng se Cipayung itu, gue jepret-jepret suasana stasiun. Kayak gini nih hasilnya




Sekitar jam sebelas lewat banyak, baru deh kita berangkat, naik kereta ekonomi biasa. Di dalem kereta, ngga terlalu banyak penumpang, tapi tetap aja berdiri. Banyak hal bisa ditemui di sepanjang gerbong kereta kelas ekonomi Jakarta-Bogor ini. Beragam manusia, beragam jenis pekerjaan dan tentu saja, beragam aroma. Selama gue berdiri sampai gue duduk, ada aja penjual buah melon teriak-teriak "melon melon, murah nih, 8000 aja, gede-gede!". Setiap gue perhatiin melonnya, dikiranya gue mau beli kali, jadi ditungguin aja gitu sama abangnya. Hehehe sori ya bang, bukannya ngga mau beli, cuma mau liat aja. Belum lagi ulah tukang minta-minta, annoying abis. Ada nih, bocah cowok, sebelumnya maaf banget, ada luka menganga dengan darah kering di pelipis kanannya. Sambil jalan jongkok, dia nyapuin lantai kereta, abis itu nadahin tangannya ke arah penumpang yang duduk. Ucapan pun terlontar dari hati, "Separah inikah bangsa kita?tidak terlepas dari kata miskin!". Gue pun berdoa untuk kebaikan mereka.

Satu jam sudah, akhirnya kita sampai di Bogor. Sebenernya gue udah beberapa kali ke sini, tapi ngga pernah seniat ini. Wkwkwk... Alhasil, gue sangat menikmati perjalanan ini bersama sahabat-sahabat tercinta.

Keluar dari stasiun, udah ada angkot 03, warna hijau ngejreng yang mengantar kita ke daerah Taman Kencana. Makan siang di lasagnagulung. Tempatnya lumayan enak, tapi karena gue ngga terbiasa makanan ala eropa, jadilah perut ini enek sepanjang jalan. Emang dasar perut kampung, ngga bisa diajak makan enak. Wkwkwk...

Kelar makan siang, dimulailah perjalanan berikutnya. Kita ambil jalan belakang, mengikuti kata Bule si guide. Wehhh..keren-keren, kita ngelewatin bangunan-bangunan tua jaman kolonial yang masih digunakan lho. Mumpung lagi jadi turis, gue sempetin foto di bangunan tua ini.



Okey, ini adalah kali pertamanya gue berbuat norak. Sebodo amat, orang-orang di jalan itu mau bilang apa tentang gue, Yuli dan Bule. Kita tetap asik. Di seberang tempat gue berdiri, ada taman. Banyak banget orang ngumpul, yang pada latihan lah, abg pada nongkrong atau sekedar numpang lewat sambil foto-foto. Yap, itulah kami. Huehehehe... Gue suka taman ini!!



Ngga hanya foto di situ, kita juga bergaya di trotoar. Itupun setelah Yuli teriak, "haaa gue pengen foto di sini!!!". Yaa menandakan kita bener-bener ada di Bogor. Hueksss...



Ealahhh, sampai di Lapangan Sempur, Yuli dan Bule langsung berubah kayak orang yang ngefans sama artis, hanya gara-gara lihat telepon umum. Bhuakakak... Dengan tampang super dodol, gue potoin ajah mereka.



Di lokasi ini, kita makan tempe mendoan ditemenin es kelapa muda, terus ngeliatin anak-anak muda Bogor, spesialisasi abg, asik olahraga siang-siang. Untung hawanya adem, jadi ngga berasa capenya. Puas ngadem di Lapangan Sempur, atas anjuran Bule, kita malah nonton Sang Pencerah di Bogor Trade Mall.

Yuli: Ya elah, le, jauh-jauh ke Bogor, ujungnya ke mol juga. ahahaha
Bule: Hehehe Bioskopnya keren yul. Langsung menghadap gunung, nanti lo lihat aja sendiri. Mantep dah. Gue juga belom nonton Sang Pencerah nih.
Gue: Gue sih hayo aja, nyobain bioskop orang Bogor kayak apa?

Akhir kalimat, kita sepakati nonton. Begitu masuk ini mal, heee ternyata sama aja kayak Jakarta. Tapi ada satu yang ngebedain, ada tukang jualan yang ngobral-ngobral dagangannya pakai teriakan, persis kayak di pasar senen. Huekekekek.

Sang Pencerah, two thumbs up!!

Finally, kita meninggalkan Bogor jam tujuh malam. Ngelewatin jalan yang dibawahnya berdiri rumah-rumah penduduk. Seru!!

Kita pulang naik kereta ekonomi-ac. Kosong melompong. Asikan begini, tenang, dingin, bisa tidur. Hehehehe..






Sampai jumpa Bogor. I'll see u next time in the different place...Tengsz yaa uda buat gue jadi fresh lagi.

Kamis, 02 September 2010

suatu ketika di jembatan gantung part 2

Ini dia sambungannya...

"Siapa sih, cuy?" tanya Dini
"Siapa?maksud lo?"Dini nanya, gue malah balik nanya dengan kebodohan tingkat standar.
"Isshh, si dodol. Itu yang tadi senyum sama lo, di jembatan gantung. Lo kenal?" Dini makin penasaran. Gue mencoba mengingat kembali. Tik tok tik tok
"OOO...gue juga heran Dince, kok bisa ya ada mahluk lucu nyebrang jembatan sambil senyum ke arah gue? jangan-jangan gue mengalami halusinasi," kata gue lebay. Langsung dapat cemoohan dari Dini.
"Orang yang aneh," oceh Dini sambil geleng kepala
"Sapa yang aneh?"
"Pake nanya lagi. Kambing dibedakin yang aneh," Dini malah senewen karena pertanyaan gue.

Percakapan pun terhenti di sini. Di kampus, omongannya beda lagi. Kali ini, gue langsung heboh. Hanya karena gue melihat tongkrongan mahasiswa super adem, namanya tikma. Kenapa demikian? karena gue merasa inget sesuatu atau tepatnya seseorang.

"DIN!!! KETEMU DIN!!! GUE UDAH TAU!!" teriak-teriak sambil narikin lengan bajunya Dini.
"Aduhhh apaan sih lo!!! ntar melar nih baju gue. Inget apa lo??" Dini mendadak frustasi.
Tiba-tiba gue diem. Bener ngga yaa??? pikiran gue jadi ragu, tapi karena hati merasa mantep banget, akhirnya gue berkoar lagi. Lagi-lagi, narikin bajunya Dini, untung aja ngga sobek.

"Biasa aja napa sih lo? jangan kayak emak-emak keilangan konde gitu!" Dini ngomelin gue.
"Hehehe sori Din, gue kebawa emosi setelah lihat tongkrongan itu," ucap gue bela diri.
"He? ape maksut lo? tongkrongan ape? wc?"Duhh, polos amat nih bocah ngertinya cuma tongkrongan toilet doang. Alhasil, gue toyor aja kepalanya, pelan.
"Gue udah inget siapa yang tadi senyum ke gue di jembatan gantung. Dia anak kampus juga!! aaahhh!!!" gue jadi histeris sendiri dengan teriakan lebih mirip orang kelindes kereta ketimbang orang yang ngefans sama artis.
"Kok gue tetep ngga ngerti ya? lo ngomongin apa lagi sih?" Dini garuk-garuk kepala.

Sohib gue satu ini, emang rada kurang pemahamannya. Dia mesti dengerin orang ngomong berkali-kali baru deh mudeng. Akibatnya, gue jadi ketularan dia, sama bolotnya. Dengan penuh kesabaran, gue ulang lagi kronologis cerita kenapa gue sampai teriak-teriak ngga jelas. Suatu saat, cowo itu pernah gue lihat, postur tubuhnya, topi warna hijau yang kerap menutupi kepalanya, dan senyum manisnya itu. Hati gue ngga salah lagi, itu dia.

Tuhan, aku memang tidak mengenal siapa dia. Bila Kau ijinkan hambaMu yang hina ini untuk bisa mengenal dia, sungguh betapa Mulianya Engkau, Maha Pemberi nikmat.

Gue masih belum tau namanya...

Bersambung again nih, gan..