Senin, 03 Desember 2012

Kisah Si Penerima Tamu part 1


Pernah datang ke acara pernikahan? pastinya pernah dong. Ya kan, pernah kan???

Selalu ada yang menarik ketika kita bertandang ke sebuah pesta pernikahan. Pertama (dan yang terpenting), pengantin. Seorang wanita dan seorang pria disatukan dalam ikatan janji di hadapan wali, penghulu dan para saksi, untuk bisa hidup bersama sampai mati (kalau bagian ini belum pasti juga sampai mati, sih). Well, mereka yang berbahagia akhirnya bisa bersanding di pelaminan, menunggu orang-orang berdatangan untuk bersalaman menyampaikan kebahagiaan.

Tata rias dan busana yang dikenakan pengantin, khususnya pengantin wanita, menjadi hal menarik yang bisa dilihat. Setidaknya untuk gue pribadi. Apalagi kalau si pengantin pakai busana tradisional, selain cantik juga kelihatan dia orang Indonesia (kalau dia pakai busana koboi ada kemungkinan dia orang barat yang lama hidup di Indonesia). Oiya, berhubung gue orang Indonesia dan senang budaya Nusantara membuat gue secara otomatis menyukai parade pengantin, dimana pengantin berjalan perlahan di atas karpet merah dengan para penari tradisional yang membawakan tarian khas daerah asal keluarga pengantin, menari di depan pengantin. Lalu, tepat di belakang Raja dan Ratu sehari ini, berjalan pula keluarga terdekat mulai dari orangtua, saudara kandung, dan saudara-saudara lainnya (yang bukan dianggap saudara tolong pengertiannya jangan ikut berada di barisan parade, ya).

Tata panggung yang 'wah' menurut gue menjadi hal menarik kedua. Beragam bunga segar menghias panggung, warna-warni dan harum. Kalau diperhatiin nih, tidak sedikit tamu yang mengambil bunga-bunga tersebut sebagai souvenir tambahan untuk dibawa pulang. Siapa yang mengambilnya? ya siapa lagi kalau bukan tim ibu-ibu rumpi yang mencomot satu persatu bunga. Nenek gue pun berniat mengambil bunga melati, tapi bukan dari panggung melainkan dari balik konde pengantin. Pas gue tanya, "Ngapain ngambil bunga melati?", beliau dengan tenang menjawab, "Buat kamu, biar cepet nikah". Dan seketika itu juga, hati gue terenyuh, campur aduk rasanya. Gue cuma bisa tertawa getir menanggapi perkataan nenek.

Oke, jangan sedih dulu. Masih ada bagian ketiga yang membuat acara pengantin menarik. Makanan. Kambing guling, siomay, sate, pempek, bakso, puding, es krim, hingga menu berat (maksudnya nasi dan kawan-kawannya) lengkap tersaji memuaskan lidah para tamu. Makanan menarik menurut gue adalah jajanan pasar dan sate. Kenapa? karena gue suka aja sama kedua makanan itu. Di sisi lain, makanan menjadi hal paling mengkhawatirkan bagi si keluarga pengantin.

Di pernikahan saudara gue pernah ada kejadian makanan untuk tamu kurang. Tamu-tamu yang datang melebihi kapasitas pesanan katering. Jadilah seluruh keluarga cemas, termasuk bokap gue. Akhirnya jatah makanan untuk keluarga yang sebelumnya udah disiapin sama orang katering dioper dengan sukarela ke tamu yang terus berdatangan. Setelah pesta usai, gue dan saudara-saudara yang lain sudah terkena penyakit lapar. Tahu apa yang terjadi? kita kena makan hokben. Untung gue suka fastfood made in Jepang ini, kalau ngga bisa-bisa gue kembung stadium empat gara-gara minum doang.

Lupakan kejadian kekurangan makanan, hal menarik keempat adalah tamu. Apalah artinya pesta tanpa kehadiran tamu. Yap, semakin banyak tamu yang datang, semakin banyak rejeki mengisi pundi-pundi. Tamu-tamu terhormat datang dengan gaya berbeda, dari yang biasa saja sampai yang luar biasa. Anyway, gue doyan memperhatikan setiap undangan hilir mudik, entah itu mau ngambil makanan atau bersenda gurau bersama teman-temannya. Pancaran kegembiraan tampak jelas terbaca dari raut wajah mereka, nyaris tidak ada kesedihan.

Satu kejadian yang terekam di otak gw soal tamu. Ada sepasang suami istri menghadiri pesta pernikahan (lagi-lagi) saudara gue. Awalnya sih, mereka santai masuk ke acara itu, sampai akhirnya ketika mereka pulang dan tiba-tiba terjadi percakapan antara gue dan sepasang suami istri itu.
"Maaf de, ini pernikahan siapa ya? sepertinya kita salah tempat," kata si suami.
Gue langsung panik sendiri (perasaan bukan gue yang salah tempat tapi gue yang panik). Berusaha tenang gue menjawab, "Ini pernikahan Evi dan Teddi, pak. Memang bapak mau ke acaranya siapa?", gue balik bertanya.
"Saya mau ke acara nikahan yang di mesjid BKKBN," jawabnya.
"Wah, ini bukan mesjid pak. Mesjidnya ada di belakang gedung ini. Sebelum masuk bapak ngga lihat fotonya dulu ya?," sahut gue, jadi merasa tidak enak hati.
"Ya ampun, saya bener-bener salah kalau begitu. Saya ngga merhatiin ada foto di depan pintu. Duh bagaimana ya ini? emm bisa ngga ya saya ambil lagi amplopnya?" bapak itu bertanya dengan mimik ragu-ragu dan penuh penyesalan.
FYI, istrinya udah masukin empat amplop titipan kedalam kotak yang ada di sebelah gue.
"Yah, kotaknya terkunci nih pak, saya ngga tahu siapa yang megang kuncinya. Maaf banget ya pak," tiba-tiba gue merasa makin bersalah sama bapak itu karena tidak bisa membantunya.
"Ya sudah kalau begitu de, apa boleh buat sudah terlanjur dimasukkin amplopnya. Terimakasih ya," ucapnya lalu melangkah pergi bersama si istri.

Tip buat yang datang ke kondangan di gedung. Jangan pernah mengabaikan foto prewedd pengantin yang terpajang di depan pintu masuk. Sebaiknya lihat dulu dan yakinkan kalau orang yang didalam foto itu betul-betul Anda kenal. Gue harap kejadian ini tidak menimpa kalian.

Kelima, souvenir. Ini dia koleksi gue, cenderamata pernikahan. Satu atau dua souvenir selalu gue bawa pulang, tidak gue buang atau dibuka, asli hanya untuk koleksi. Sayangnya, kardus-kardus koleksi gue udah dibuang nyokap. Jadi sisanya hanya yang ada di lemari pajangan.

Dan terakhir, adalah penerima tamu. Heran ya, kenapa gue memilih penerima tamu menjadi bagian menarik dalam pesta pernikahan. Mau tahu apa alasannya????

*tunggu kelanjutannya yaaaa... cape juga ngetik sebanyak ini*


Selasa, 16 Oktober 2012

Hanya Ingin Menulis

Sudah hampir setahun saya tidak lagi meluangkan waktu untuk hobi saya, menulis. Dan, seperti diingatkan kembali, saya mimpi bertemu Salman Aristo. Dalam mimpi, saya mengamati Salman sedang memberi arahan ke murid-murid penulisnya di dalam kopaja yang saya tumpangi. Wkwkwkwk kok ya bisa ada Salman di kopaja. Masih di dalam mimpi, saya melihat dia dan dua muridnya turun di TIM. Karena saya suka dengan karya-karya Salman, maka saya memutuskan untuk turun dan mengikuti mereka masuk ke dalam TIM. Di sana, saya pun ikut nimbrung bersama mereka. Viola! Jadilah saya menulis kembali.

Entah ini suatu pertanda atau apalah itu namanya, saya terbangun dari mimpi dan mimpi itu masih jelas saya ingat hingga saya menuliskannya di blog yang jarang saya jamah ini. Kekuatan untuk menulis itu semakin kuat dan dekat kepada saya. Saya hanya ingin menulis, itu saja.

Pertama kali saya menyukai dunia penulisan, waktu itu saya masih sepuluh tahun. Saya paling senang baca koran Poskota usai pulang sekolah. Semua berita habis saya baca, meskipun kadang saya tidak mengerti tentang isi berita itu. Sampai akhirnya saya juga melahap lampiran Lembergarnya Poskota yang berisi kartun dan karikatur. Ini yang saya suka. Mungkin karena lembarannya berwarna dan ada gambar-gambar lucu. Kartun Doyok adalah favorit saya.

Suatu ketika saya pernah bertanya ke bapak, siapa yang menulis di koran Poskota? bapak menjawab, wartawan yang menulis. Tulisan yang ada di koran itu berita-berita yang ada di sekitar kita. Aku pun hanya membalas dengan anggukan. Pastinya tidak mengerti. Wartawan itu nama orang atau apa ya? pikiranku bekerja keras menemukan arti kata wartawan. Inilah kali pertama saya jatuh cinta dengan dunia tulis menulis.

Tahun 1996, saya tidak lagi menempati rumah lama di Menteng Dalam. Kejadian pindah rumah ini membuat saya super galau tak terkira. Saya harus kehilangan teman-teman yang sudah 12 tahun bersama. Di rumah baru saya sering menangis dan selalu berkata tidak betah ke seisi rumah. Saya mau kembali ke Menteng Dalam, hanya itu yang sering saya ucapkan ke mereka. Berbulan-bulan saya menangis dan memarahi keadaan.

Ketika masuk SMP, total saya tidak mempunyai teman. Semua tampak baru di hadapan saya. Rumah baru, sekolah baru, teman baru, saya tidak menyukainya. Saya hanya mau bersama teman-teman lama. Alhasil, saya enggan berkomunikasi dengan orang-orang asing itu. Selama beberapa minggu ke sekolah saya diantar jemput asisten rumahtangga. Hal ini pun sempat menjadi bahan ledekan dan tertawaan anak-anak lainnya. Saya tidak pernah peduli karena sudah terlanjur membenci kota baru dan orang-orang yang ada didalamnya.

Diam. Hanya itu yang mau saya lakukan. Bila mereka sibuk berkenalan sana-sini, saya cenderung memilih diam sampai ada seorang anak perempuan yang datang menghampiri dan bertanya, "Apa kursi ini kosong?". Anak perempuan berdarah batak itu pun menjadi teman pertama saya di sekolah ini. Memang tidak banyak yang kami bicarakan, hanya seputar lingkungan sekolah dan saling bertanya tempat tinggal. Ternyata rumahnya satu wilayah dengan saya. Dari situ kami mulai berteman. Namun sayang, satu tahun belum berakhir dia sudah pindah mengikuti keluarganya.

Lucu, saya hampir menangis waktu tahu teman pertama saya itu pergi, padahal belum lama kami berteman. Setelah kepergiannya, saya kedatangan teman baru yang duduk di sebelah saya. Anak perempuan bertubuh kurus itu menjadi teman saya selanjutnya, bahkan hingga detik ini kami masih berteman baik.

Berhubung masa remaja saya habiskan nyaris dengan kebisuan, saya tidak menyesal karena tanpa saya sadari saya menemukan ketenangan yang belum tentu orang lain miliki. Buku harian menjadi obat mujarab saat saya tidak memiliki teman untuk berbagi rasa. Buku harian pertama saya beli di toserba Ramayana Kramat Jati bersama teman. Itupun kalau tidak diajak saya tidak pernah tahu bahwa di dekat rumah saya terdapat mal. Bayangkan betapa tidak gaulnya saya.

Buku harian sudah seperti sahabat saya. Setiap mulai menulis saya selalu menyapa, "Hai diary, apa kabar?" hahaha seperti mengobrol dengan manusia saja. Lembar demi lembar aku mulai ketagihan menulis buku harian. Setiap kejadian yang saya alami hari itu saya torehkan di diary. Mulai dari yang penting hingga tidak penting.

Kisah itu bermula dari sini....