Selasa, 16 Oktober 2012

Hanya Ingin Menulis

Sudah hampir setahun saya tidak lagi meluangkan waktu untuk hobi saya, menulis. Dan, seperti diingatkan kembali, saya mimpi bertemu Salman Aristo. Dalam mimpi, saya mengamati Salman sedang memberi arahan ke murid-murid penulisnya di dalam kopaja yang saya tumpangi. Wkwkwkwk kok ya bisa ada Salman di kopaja. Masih di dalam mimpi, saya melihat dia dan dua muridnya turun di TIM. Karena saya suka dengan karya-karya Salman, maka saya memutuskan untuk turun dan mengikuti mereka masuk ke dalam TIM. Di sana, saya pun ikut nimbrung bersama mereka. Viola! Jadilah saya menulis kembali.

Entah ini suatu pertanda atau apalah itu namanya, saya terbangun dari mimpi dan mimpi itu masih jelas saya ingat hingga saya menuliskannya di blog yang jarang saya jamah ini. Kekuatan untuk menulis itu semakin kuat dan dekat kepada saya. Saya hanya ingin menulis, itu saja.

Pertama kali saya menyukai dunia penulisan, waktu itu saya masih sepuluh tahun. Saya paling senang baca koran Poskota usai pulang sekolah. Semua berita habis saya baca, meskipun kadang saya tidak mengerti tentang isi berita itu. Sampai akhirnya saya juga melahap lampiran Lembergarnya Poskota yang berisi kartun dan karikatur. Ini yang saya suka. Mungkin karena lembarannya berwarna dan ada gambar-gambar lucu. Kartun Doyok adalah favorit saya.

Suatu ketika saya pernah bertanya ke bapak, siapa yang menulis di koran Poskota? bapak menjawab, wartawan yang menulis. Tulisan yang ada di koran itu berita-berita yang ada di sekitar kita. Aku pun hanya membalas dengan anggukan. Pastinya tidak mengerti. Wartawan itu nama orang atau apa ya? pikiranku bekerja keras menemukan arti kata wartawan. Inilah kali pertama saya jatuh cinta dengan dunia tulis menulis.

Tahun 1996, saya tidak lagi menempati rumah lama di Menteng Dalam. Kejadian pindah rumah ini membuat saya super galau tak terkira. Saya harus kehilangan teman-teman yang sudah 12 tahun bersama. Di rumah baru saya sering menangis dan selalu berkata tidak betah ke seisi rumah. Saya mau kembali ke Menteng Dalam, hanya itu yang sering saya ucapkan ke mereka. Berbulan-bulan saya menangis dan memarahi keadaan.

Ketika masuk SMP, total saya tidak mempunyai teman. Semua tampak baru di hadapan saya. Rumah baru, sekolah baru, teman baru, saya tidak menyukainya. Saya hanya mau bersama teman-teman lama. Alhasil, saya enggan berkomunikasi dengan orang-orang asing itu. Selama beberapa minggu ke sekolah saya diantar jemput asisten rumahtangga. Hal ini pun sempat menjadi bahan ledekan dan tertawaan anak-anak lainnya. Saya tidak pernah peduli karena sudah terlanjur membenci kota baru dan orang-orang yang ada didalamnya.

Diam. Hanya itu yang mau saya lakukan. Bila mereka sibuk berkenalan sana-sini, saya cenderung memilih diam sampai ada seorang anak perempuan yang datang menghampiri dan bertanya, "Apa kursi ini kosong?". Anak perempuan berdarah batak itu pun menjadi teman pertama saya di sekolah ini. Memang tidak banyak yang kami bicarakan, hanya seputar lingkungan sekolah dan saling bertanya tempat tinggal. Ternyata rumahnya satu wilayah dengan saya. Dari situ kami mulai berteman. Namun sayang, satu tahun belum berakhir dia sudah pindah mengikuti keluarganya.

Lucu, saya hampir menangis waktu tahu teman pertama saya itu pergi, padahal belum lama kami berteman. Setelah kepergiannya, saya kedatangan teman baru yang duduk di sebelah saya. Anak perempuan bertubuh kurus itu menjadi teman saya selanjutnya, bahkan hingga detik ini kami masih berteman baik.

Berhubung masa remaja saya habiskan nyaris dengan kebisuan, saya tidak menyesal karena tanpa saya sadari saya menemukan ketenangan yang belum tentu orang lain miliki. Buku harian menjadi obat mujarab saat saya tidak memiliki teman untuk berbagi rasa. Buku harian pertama saya beli di toserba Ramayana Kramat Jati bersama teman. Itupun kalau tidak diajak saya tidak pernah tahu bahwa di dekat rumah saya terdapat mal. Bayangkan betapa tidak gaulnya saya.

Buku harian sudah seperti sahabat saya. Setiap mulai menulis saya selalu menyapa, "Hai diary, apa kabar?" hahaha seperti mengobrol dengan manusia saja. Lembar demi lembar aku mulai ketagihan menulis buku harian. Setiap kejadian yang saya alami hari itu saya torehkan di diary. Mulai dari yang penting hingga tidak penting.

Kisah itu bermula dari sini....