Yihaaa, kembali lagi...
Ada cerita nih, waktu saya ditugaskan ke Banda Aceh. Kulineran menikmati Kopi Solong. Hmmm.. ada yang pernah ke sana?
Ngopi di Aceh
Singgah di Banda Aceh tak lengkap rasanya bila tidak mampir ke warung kopi Solong. Sedapnya kopi menggugah selera untuk kembali.
Ya, ini kali pertama saya menginjakan kaki di Bumi Serambi Mekkah. Buat saya, Aceh seperti magnet religi bagi wisatawan yang berkunjung. Belum lagi, keindahan alamnya luar biasa cantik dan menggoda mata, seolah sanggup membayar keletihan setelah melampaui perjalanan Jakarta-Banda Aceh.
Lepas satu hari setelah tiba di Banda Aceh, saya bersama rombongan wartawan dari Jakarta diajak mencicipi kopi Solong khas Aceh di kawasan Ulee Kareng. Sambil menemani kami menuju warung kopi tersohor itu, pemandu wisata kami berpromosi, “Setiap tamu yang datang harus mampir ke warung kopi Solong. Kalau tidak, bisa dibilang mereka belum ke Aceh karena belum mencicipi kopi khas kami,” kata Ucok, sumringah.
Wah, saya jadi penasaran, ingin membuktikan kata-kata sang pemandu. Seberapa mantap rasa kopi yang ia promosikan? Seperti apa bentuk warung kopi yang ada di daerah ini? Mungkinkah sama dengan warung kopi di Jakarta, kebanyakan memakai tenda? ikuti perjalanan saya berikut ini.
Separuh hari kami lalui dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Setelah melihat pawai budaya untuk menyambut Visit Banda Aceh 2011, lalu menyambangi toko cenderamata khas daerah setempat dan menjelajah rumah Cut Nyak Dien, tiba saatnya melepas lelah sambil menikmati secangkir kopi ditemani semburat jingga turun perlahan di ufuk barat.
Sampai di warung kopi Solong Ulee Kareng, tampak luar, bangunannya ternyata tidak sama dengan warung kopi tenda seperti di Jakarta. Terlihat jelas, sebuah bangunan ruko, mempunyai ukuran cukup luas untuk sekelas warung kopi biasa. Sambutan hangat dari si pemilik warung membuat kami nyaman. Sore itu, banyak pelanggan yang datang dan nyaris tidak ada kursi kosong untuk kami. Namun, beruntung, ada beberapa tamu telah selesai berbincang serta menyeruput kopi, kemudian meninggalkan warung.
Sebelum mencoba rasa kopi hasil seduhan sang ahli, kami dipersilakan berkeliling ke dapur pembuatan kopi oleh Asballah, tidak lain adalah penerus generasi kedua dari silsilah keberadaan warung kopi Solong. Kami pun bergegas ke belakang warung. Di ruangan kecil ini, tersimpan karung-karung berisi biji kopi dan alat penghancur biji kopi tersebut. Selain itu, terdapat timbangan untuk menimbang kopi yang sudah dihancurkan, sesuai dengan takarannya. Lalu, tentu saja tumpukan plastik dalam kardus air mineral, berisi apalagi kalau bukan kopi bubuk Solong.
Saya sempat mengamati proses pembuatan kopi di tempat ini. Seorang karyawan memasukan biji kopi kedalam mesin giling untuk dihancurkan hingga halus. Setelah proses penghalusan selesai, bubuk kopi ditimbang menurut ukuran beratnya. Kemudian, baru dikemas dalam plastic dan disimpan.
Sementara, untuk penyajian jika tamu ingin minum kopi di tempat, prosesnya seperti ini. Kopi dituang dalam kain, fungsinya sebagai penyaring. Kemudian, kopi bersama kain tersebut dimasukan ke wadah berisi air mendidih, dicelupkan sebentar, setelah itu kain diangkat hingga atas kepala. Kucuran air kopi dari kain tersebut lalu dituangkan kedalam cangkir-cangkir kecil. Dan, jadilah kopi Solong. Harum aroma kopi ditambah rasanya yang menggoda lidah, membuat saya mengangkat dua jempol, mantap.
Usai memperhatikan proses pembuatan, ada satu hal menarik perhatian saya, yakni cara penyeduhannya menggunakan kain dan diangkat tinggi melebihi kepala. Cara tradisional itu diyakini bisa membuat rasa serta aroma kopi menjadi sangat kuat. Tidak hanya itu, para pembuat kopi pun mempercayai bahwa setiap tahap meracik kopi, menciptakan nilai-nilai luhur budaya mengenai kedisiplinan serta rasa kebersamaan.
Menjamurnya kedai-kedai kopi di setiap sudut kota Aceh memang sudah tidak asing lagi. Bahkan, sudah menjadi budaya, menyatu dengan masyarakat. Alhasil, berdirinya warung kopi merupakan bentuk hiburan, dimana warga bisa kumpul, mengobrol bersama teman sejawat sambil menikmati makanan ringan atau melakukan kegiatan bisnis. Maklum saja, kota ini tidak ramai dengan mall maupun pusat perbelanjaan mewah seperti Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia. Jadi, kehadiran warung kopi adalah pilihan tepat bagi penduduk setempat.
Terlebih lagi, setelah peristiwa tsunami melanda Aceh, banyak relawan lokal dan luar negeri mendatangi warung kopi untuk beristirahat maupun saling memberi informasi. Inilah salah satu penyebab semakin banyak orang-orang mendirikan tempat favorit ini. Masyarakat pun seolah-olah teracuni oleh trend nongkrong di kedai kopi.
Dahulu, warung kopi dijadikan sarana informasi dari kampung yang satu dengan kampung lainnya, malah sampai ke luar kota. Namun, seiring pesatnya arus informasi dan berkembangnya teknologi internet, kini banyak juga kedai memberikan fasilitas internet gratis. Meskipun, masih ada yang mempertahankan ketradisionalan warung tanpa internet, seperti warung yang saat itu saya singgahi, toh kehadirannya justru digemari, baik dari orangtua, kaum muda, ragam etnis, laki-laki, maupun perempuan.
Sejatinya, kopi bukan lagi merupakan jenis minuman biasa bagi penduduk Aceh. Berawal dari biji kopi, sebuah filosofi mengenai kehidupan terjadi. Budaya ngopi pun selalu melekat dihati.